Sesungguhnyalah, banyak ajaran-ajaran Kejawen yang sebenarnya bersumber dari Islam. Hal itu sangat dimungkinkan karena Sembilan Wali (Wali Songo) yang giat menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, menggunakan metode dakwah yang hebat, halus menyusup ke dalam kebudayaan Jawa. Mereka menggunakan tamsil kura-kura, dalam bahasa Jawa disebut bulus. Dakwah Islam harus seperti bulus, akronim dari mlebune sarono alus, masuk secara halus, bil hikmah. Salah satunya adalah berdakwah dengan bahasa ibu masyarakat yang menjadi target sasaran, yaitu bahasa Jawa.
Contoh lain petuah Jawa yang sangat populer, yaitu sugih tanpa banda (kaya tanpa harta), nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa perlu membawa pasukan) dan menang tanpo ngasorake (menang tanpa membuat musuh merasa dikalahkan), ternyata saya jumpai dalam buku kumpulan hadis Nasehat Penguni Dunia, karya Imam Ibnu Hajar Al Asqalaniy dan Imam Nawawi Al-Banteniy.1) Yang terakhir adalah ulama terkenal asal Banten yang bermukim di Mekah pada abad ke-19. Hadis tersebut ber-bunyi: “Barang siapa keluar dari kehinaan maksiat menuju kemuliaan taat, maka Allah akan menjadikan ia kaya tanpa harta, kuat tanpa tentara dan menang tanpa pasukan.”
Kalau pada masa kejayaan Majapahit kita telah memiliki beberapa karya satra tulis, sayang sekali pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa abad ke-15, kita sulit menemukan peninggalan karya tulis. Karya tulis Jawa baru kembali berkembang pada masa Mataram II, khususnya di masa Kasunanan Surakarta abad ke-18. Itu pun kita belum biasa menggunakan kelaziman sumber kutipan. Akibatnya banyak ajaran agama Islam yang tidak diketahui atau tidak disebutkan sumber asal-usulnya, dan kemudian diklaim sebagai ajaran Kejawen.
Ironisnya pula ajaran-ajaran yang didakwahkan secara lisan dari generasi ke generasi tersebut, sebagian telah menyimpang sehingga belakangan ini banyak ajaran Kejawen yang kembali sarat dengan klenik dan mistis, memuja roh halus dan para jin. Sementara itu ada pula penganut aliran Kebatinan, yang pada dasarnya menjalani ilmu tasawuf yang berusaha menghayati makna hakikat dan ma’rifat, mengambil jalan pintas, karena merasa Gusti Allah telah menyatu dalam dirinya, manunggaling kawulo-Gusti, maka menganggap tidak perlu menjalankan salat lima waktu. Tanpa perlu melaksanakan syariat. Mereka mungkin lupa bahwa Kanjeng Nabi pun sampai di akhir hayatnya tetap salat lima waktu. Padahal, adakah pengikutnya yang dapat menandinginya dalam hal keimanan dan kedekatannya dengan Allah? Saya yakin tidak.
1) Judul asli Nashoihul ibad, terjemahan bahasa Indonesia oleh Drs. H. Aliy As’ad, Penerbit Menara Kudus
(dikutip dari buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan” hal 114)