Kondisi masyarakat yang bangga dengan peradabannya yang maju seperti itulah, yang dihadapi para kyai atau ustadz khususnya yang dikenal sebagai “Wali Songo” (Wali Sembilan), dalam menyebarkan agama Islam pertama kali di tanah Jawa. Para feodal dan pemuka masyarakat Jawa berpendapat, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang Jawa. Sejalan dengan bunyi sebuah hadis, para ulama menyetujui pandangan tersebut dan melengkapi, demikian pula orang Jawa atas orang Arab. Serta tidak ada kelebihan orang kulit hitam atas orang kulit putih dan sebaliknya, kecuali taqwa. Kita semua berasal dari Adam, dan Adam dari debu.

Maka tidak seperti di jazirah Arab dan sebagian Eropa, agama Islam masuk ke Jawa dengan menghindari pedang dan darah, menghindari kekerasan. Dengan hidayah Allah Yang Maha Kuasa, para Kyai berdakwah menggunakan media kebudayaan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256) dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl : 125), nampaknya menjiwai metode dakwah pada saat itu.

Kedua ayat di atas, ditambah Surat Yunus :99 yang berbunyi, “Seandainya Tuhanmu menghendaki tentu berimanlah seluruh orang di muka bumi ini tanpa kecuali. Apakah engkau akan memaksa semua umat manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman?”, mendorong Wali Songo menciptakan simbol dakwah kura-kura yang dalam bahasa Jawa disebut bulus, dimaksudkan sebagai akronim mlebune sarana alus, masuk secara halus tanpa paksaan. Dengan hikmah dan kebijaksanaan. Tapi juga bukan sekedar itu. Pada hemat saya kura-kura adalah salah satu simbol kepemimpinan. Kura-kura hanya bisa berjalan ke depan dengan menjulurkan leher dan kepalanya ke luar. Kalau anda ingin menjadi pemimpin, menjadi imam, khotib dan ustadz, maka anda harus menjulurkan leher dan kepala ke depan. Berjalan di barisan paling depan, memberi contoh dan berani mengambil risiko. Tidak mungkin memimpin dari belakang.

Untuk itu gambar bulus dipakai menghiasi mihrab mesjid pertama di Jawa yaitu Mesjid Demak. Binatang-binatang bulus yang dimitoskan sebagai abdi setia para wali, juga dipelihara di sendang (sejenis danau kecil) atau kolam-kolam mata air tempat mengambil air wudu.

(dikutip dari buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan” hal 57)

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a comment